Senin, 12 September 2011

SEJARAH DESA PONTAK


Disitir dari buku
SEKILAS SEJARAH DESA PONTAK DAN PERKEMBANGANNYA
Oleh
M. F. Lumenta

BAB II
SELINTAS SEJARAH MINAHASA
                Diceritakan berdasarkan ceritera dari beberapa sumber informasi bahwa pada mulanya Minahasa ini masih dikenal dengan nama MALESUNG. Nama Malesung ini diambil dari nama pohon kayu yang pada waktu itu banyak tumbuh, dianggap tahan panas, tahan hujan dan kuat. Pohon ini banyak digunakan untuk tempat berteduh, dibuat pondok =sabuah =loilong =terung ; yaitu tempat beristirahat merupakan rumah = wale. Di lain pihak meyatakan bahwa nama malesung diambil sesuai bentuk geografisnya minahasa seperti lesung, bergungung-gungung oval dan landai.
                Nanti pada abad VII kira-kira tahun 670 nama Malesung berangsur berubah namun dalam sebutan yang sedikit berbeda sebab ada yang menyebutkan “NE MAESA” ada yang sebut  “PAKASAAN”, “TANA E MAESA”, “MAHASA”, “SE MAHASA” lalu lama kelamaan muncullah “MINAHASSA”, lalu muncullah nama resminya “MINAHASA”. Nama ini terjadi demikian berdasarkan hasil musyawarah dari kepala-kepala Walak/Tonaas-Tonaas yang telah berkumpul untuk pertama kalinya di “WATU PINAWETENGAN” pada abad VII itu. Hasil musyawarahnya itu disebutlah “piagam persatuan”. Pada pokoknya bahwa arti dari pada nama yang tersebut di atas tadi itu yaitu : “sudah bersatu”.  Namun, kemudian dari itu masih ada uga sebutan yang lain, seperti orang-orang portugis yang pertama kali mendarat di manado dan amurang hanya menyebutnya dengan “batacina”. Antropolog dan penginjil belanda riedel menulis denga nama “maesa”, Schwarz menulis dengan “minahase”, Dr Rijneveld menulis : “manakasa”. Kesemuanya ini tidak dapat lagi mempengaruhi hasil musyawarah yang sudah ditetapkan oleh tonaas-tonaas.
                Dari cerita ke cerita, menceritakan bahwa tanah “MALESUNG” ini terdapat suatu tanah dataran tinggi di tempat yang bernama “MAHAWATU” tepatnya pada pegunungan “WULURMAHATUS” dalam kecamatan Modoinding sekarang. Tempat itulah yang dinyatakan sebagai “TUUR IN TANA” (maksudnya ialah pusat tanah Minahasa). Dari “TUUR IN TANA” inilah mengalir sebuah sungai besar yang menuju ke utara langsung bermuara di laut pantai Amurang sekarang. Menurut cerita, bahwa sungai ini menjadi tempat jalan dari Apo-Apo (moyang) waktu itu sehingga lama kelamaan dinamailah sungai ini “RANOIAPO”, (RANO = air, I = si, APO = moyang, Tonaas).
                Di “tuur in tana” itu berdiamlah seorang perempuan tua yang kemudian dikenal namanya “karema”. Karema adalah seorang perempuan yang telah selamat dibawa arus laut dari utara masuk ke pedalama minahasa bahagian selatan mengikuti sungai ranoiapo terdampar pada satu pegunungan yang tinggi tepatnya pegunungan wulurmahatus di kecamatan modoinding sekarang. Di sini karema berdiam seorang diri yang lama kelamaan telah dpat menemani binatang liar di daerah itu.
                Diceritakan pula bahwa di tempat lain yaitu di minahasa bahagian tengah pada suatu ketika ada pula peristiwa yang sama. Arus air laut yang dasyat mengakibatkn sekelompok manusia yang berlayar dari utara membelot hingga masuk tanah malesung ini seolah-olah dari sebelah timur. Mereka itu dibawa oleh arus laut yang dasyat itu langsung mengikuti satu sungai besar (sungai tondano sekarang), masuk ke pedalaman terdampar pada pada pegunungan MANIWU.  Sekelompok manusia itu merupakan satu keturunan. Menurut silsilahnya bahwa pemimpinnya ialah “NAIWAKA” yang merupakan generasi I (pertama). Bersama sama dengan kelompok inilah seorang puteri cantik yang kemudian namanya diketahui ialah “LUMEENG-EMUUT”. Mereka itu tinggal menetap di pegungungan MARIWU. Pada pegunungan itu terdapat dua puncak gunung berapi yaitu “MANEMBO” dan “MAKATEMBO”. Di bawah kaki pegunungan inilah mereka itu mengolah tanah untuk pertanian dan ternyata banyk member hasil. Dengan adanya hasil pertaniannya yang melimpah itu, maka setelah selasai pemetikan hasil mereka mengadakan pesta pora ucapan terima kasih pada dewa. Semua keturunan Naiwaka hadir bersama dalam pesta pora itu kecuali si LUMEENG-EMUUT tidak dapat hadir karena sementara mengandung. Ia tinggal seorang diri jauh dari lokasi itu. Sementara acara pesta itu dilaksanakan tiba-tiba meletuslah gunung api “manembo”. Semua yang hadir dalam upacara itu menjadi korban; lenyap.
                Kini tinggalah “LUMEENG-EMUUT” sendiri yang sedang mengandung menantikan kelahiran bayinya. Begitu berani, begitu tabah namun mengalami pahit dan getir lumeeng-emuut menekuni hidupnya sampai bayi yang dinanti-nantikannya lahirlah denga selamat. Ternyata bayi yang lahir itu adalah laki-laki, lalu diberi nama “TOU ARU” (makalah S. H. Awuy tahun 1982 : lumeeng-emuut artinya si cantik yang sukses melaksanankan kependekaran. TOU ARU artinya orang pemberani, bijaksana lengkap berperisai). Dengan jiwa besar, tekad dan gigih, tapi tenang dan tabah LUMEENG-EMUUT berusaha membesarkan dan memelihara anaknya itu.
                Di kala TOU ARU sudah dewasa ,maka bermufakatlah tou aru dengan ibunya LUMEENG-EMUUT untuk mencari tempat-tempat yang kemungkinan ada manusia lainnya. Terjadilah kata sepakat bahwa kedua-duanya harus meninggalkan tempat ini lalu pergi berjalan pada arah yang bertentangan. Acara keberangkatan diatur begitu rupa lalu berjalanlah mereka sendiri-sendiri yang dibekali dengan jiwa besar, percaya diri, dan penuh keyakinan.
                Sekian lama mereka mengembara sehingga masing-masing tidak saling mengetahui lagi di mana seseorang itu berada. Kemudian pada suatu ketika tanpa disangka-sangka bahkan secara kebetulan bertemulah mereka di tuur ini tana tepat di mana tempat tinggal KAREMA. Keduanya tidak saling mengenal lagi. LUMEENG-EMUUT lebih dulu muncul dari timur nampak badannya basah oleh keringat. Dalam keadaan badan berkeringat itulah Karema menymbut insane ini dengan gembira serta menyapa dia dengan penuh ramah tamah.
                Sementara KAREMA membersihkan keringat insan wanita ini muncullah dari dalam mulutnya kata-kata panggilan untuk nama wanita ini “LUMIMUUT”. Kemudian dari itu bertiulah angin rebut dari barat dan bersama-sama denga angin ribut itulah TOU ARU laki-laki perkasa itu melompat ke depan KAREMA dan LUMIMUUT. Tanpa ragu dan gentar karema terus menyambut pula insan ini dengan penuh semangat kekeluargaan dibarengi dengan tegur sapa yang penuh ramah tama.
                Situasi angin rebut yang bertepatan dengan tibanya seorang insan lelaki telah membuat karema menjadi lebih berani sehingga dalam keberaniannya itu melonjaklah dari mulutnya memanggil lelaki itu dengan nama “TOAR”.
                Atas prakarsa Karema maka keduanya dinikahkan dan sekaligus dinobatkannya sebagai ahli waris keturunan Malesung. Jadilah toar dan lumimuut itu sebgai suami istri.
                Ternyata dari perkawinan toar dan luumimuut itu lahirlah keturunan-keturunan.. Dari keturunan-keturunan ini makin lama makin bertambah-tambah sehingga tidak dapat lagi ditampung di tempat itu. Tempat itu sudah lazim dengan nama “MAWALESUNG”. Dengan adanya tempat mawalesung itu tidak dapat lagi menampung keturunan Toar Lumimuut waktu itu maka berdasar petunjuk apo Karema pergilah mereka memperluas wilayahnya ke satu tempat yang bernama “KENTUR WATU” = gunung batu yang etaknya berkisar 1 ½ km ke sebelah barat tompaso baru; pinaesaan sekarang. Pada gunung batu inilah merupakan lokasi tempat jangkauan pertama dari keturunan itu. Disebut dalam bahasa tua PI NA’ LANTAKAN = PENGA’ LANTAKAN = tempat kunjungan jangkauan pertama, lalu disebutlah namanya “WATU PENGA’ LANTAKAN.
                Oleh keturunan TOAR LUMIMUUT itu telah menjadi gunung batu ittu sebagai tempat peristirahatan. Setelah melihat adanya sangat memadai untuk dijadikan tempat berteduh maka dari beberapa APO = Tonaas keturunan TOAR LUMIMUUT hendak menata batu tersebut. Batu itu ditata, dipahat = dietak sampai bentuknya nampak seperti rumah, punya kamar, punya pintu masuk keluar, punya jendela, punya bilik-bilik sehingga berubah nama menjadi “WATU NI ETAKAN” di mana sampai saat ini “Watu = Batu” itu tetap ada namun tidak terpelihara lagi. Letaknya kira-kira 1 ½ km di sebelah barat kota Tompaso Baru; Pinaesaan sekarang.
                Di atas gunung batu inilah warga keturunan toar lumimuut mengadakan pembagian menjadi 3 golongan keturunan, yaitu :
1.       Golongan MAKARUA SIOW : untuk mengatur pengajaran, ibadah dan adat.
2.       Golongan MAKATELU PITU : mengatur jalannya pemerintahan dan keamanan.
3.       Golongan PASIOWAN TELU : menjadi pekerja, sebagai rakyat biasa.
Kemungkinan besar rapat pertemuan pembagian golongan di atas gunung batu itu ditandai oleh adanya 9 lesung kecil yang masing-masing besarnya bekisar tinggi 20 cm dan garis menengahnya 20 cm yang sampai saat ini masih boleh diketemukan di atas gunung batu itu.
Istilah MAKARUA SIOW (2 x 9), MAKATELU PITU (3 x 7), dan PASIOWAN TELU (9 x 9 x 9) diambil dari burung MANGUNI pada saat pertemuan itu berlaku.
Pengauran ini dimaksudkan agar setiap saat di mana pun mereka berada atau dalam keadaan bagaimanapun masing-masing keturunan sudah dapat mengetahui “siapa yang mengatur pengajaran dan ibadah, siapa yang mengatur pemerintahan, siapa yang menjadi pekerja”.
Penggolongan ini tidak dapat bertahan lama karena sudah terjadi kawin mawin campuran. Kemudian keturunan ini makin bertambah-tambah lalu menyebar ke utara dan yang lain ke bagian tengah tanah malesung ini. Menyebarnya keturunan ini telah menimbulkan situasi baru baik dalam pergaulan kehidupan keluarga yang makin lama saling tidak menghiraukan lagi, maupun dalam kaomunikasi bahasa, makin lama tidak saling mengerti lagi, di mana masing-masing kelompok keturunan bahasanya sudah makin berbeda. Ternyata dengan berbedanya bahasa waktu itu seolah-olah sudah merupakan pula pembagian anak suku bangsa. Bermacam bahasa sudah terjadi berarti sudah bermacam pula anak suku bangsa waktu itu tercipta, dan pernah mengaami pembagian anak Tonsea, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan, dan Bantik. Masing-masing anak suku waktu itu menggunakan kepemimpinan sebagai berikut :
1.       Yang disapah WALIAN : merupakan pemimpin adat, kepercayaan/agama.
2.       Yang jadi TONAAS : merupakan kepala walak, wanua, ahli pertanian.
3.       Disebut TETERUSAN : pimpinan perang.
4.       Diangkat POTUASAN : sebagai penasihat.
Setelah pimpinan ini melihat bahwa kerukunan keluarga Malesung seolah-olah sudah mau retak maka Walak/Tonaas sangat merasa perlu mengadakan pertemuan/permusyawaratan seluruh anak suku Malesung dalam rangka merapatkan kembali kekeluargaan malesung. Permusyawaratan ini sudah berlaku pada abad ke VII kira-kira pada tahun 670 berkumpulah semua tonaas di watu pinawetengan untuk pertama kali. Pertemuan ini sudah menciptakan piagam persatuan yang merupakan sumpah persatuan bagi setiap warga malesung namun dalam sebutan yang berbeda yaitu : maesa, mahasa, pakasaan, se mahasa, minahassa, sampai mendapatkan nama resminya ialah minahasa.
Dalam permusyawaratan itu telah ditentukan pula lokasi penyebaran masing-masing anak suku bangsa/bahasa. Yang berbahasa tountemboan ditentukan menyebar untuk pertma kali di daerah kanonang, tombasian, tumaratas, sekarang. Pada mulanya anak suku bangsa ini dikepalai oleh KOPERO, KALANGI, PANDEIROTH, LUMENTAH, LAKOYAN, UWANEN, MAMUSUNG, ROSOK. Keluarga-keluarga yang menyebar ini makin lama makin bertambah-tambah sehingga timbul pula nama-nama lainnya antara lain : supit, mamarimbing, suak, dan lain-lainnya. Pada zaman malesung nama-nama orang belum mengenal nama yang sama dengan nama kita sekarang. Ada nama besar ada nama kecil. Pada saat itu nama orang hanya mengenal nama panggilan hari-hari (nama kecil) sehingga tanda kenal garis keturunan family tidak nyata. Pengenalan nama garis keturunan family ini nanti mulai ada pada masa masuknya bangsa barat : Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda. Terutama sekali pada wwaktu masuknya agama Kristen. Mulai waktu itu sudah mulai mengenal nama besar (nama keluarga =nama gris keturunan warga) dan nama kecil = nama panggilan hari-hari. Perobahan ini telah berlaku dengan jalan bahwa sebahagian besar keluarga ini telah menetapkan namanya waktu itu sekaligus menjadi nama besar (nama keluarga = nama garis keturunan). Buktinya sekarang ialah PANDEIROTH, KALANGI, LUMENTAH, MAMUSUNG, dahulunya hanya merupakan nama kecil (panggilan hari-hari) sekarang ini sudah menjadi nama besar keluarga.
Dari keturunan tountemboan inilah sudah menyebar untuk pertama sekali di minahasa bagian selatan ini. Demikian penyebaran ini telah trjai melalui jalan sungai ranoiyapo. Tonaas-tonaas itu datang berupa rombongan berburu.
Dalam perjalanan mereka itu ke minahasa bahagian selatan ini ialah menyusur sungai Ranoiapo sekarang. Sebahagian singgah berburu di Karimbow – Tokin sekarang dan yang lain terus lebih ke selatan di KENTUR WATU = Gunung Batu = BATU NI ETAKAN yang sekarang ini ada kira-kira 1 ½ km sebelah barat Tompaso Baru – Pinaesaan sekarang.
Tonaas-toonaas yang singgah berburu di daerah tokin – karimbow sekarang menurut cerita mereka itulah yang sudah membuka pemukiman baru di wilayah itu. Tonaas-tonaas yang sudah terus ke “watu ni etakan mereka itulah yang sudah membuka pemuiman baru di wilayah pontak sekarang.
Demikianlah selintas pra sejarah minahasa ini sengaja digoreskan dalam buku ini karena merupakan titik tolak penyusunan berdirinya desa Pontak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar